Sunday, 7 April 2013

PolyLactic Acid (PLA) Produksi Aplikasi dan Prospek Pengembangannya di Indonesia


Bioplastik atau plastik organik adalah salah satu jenis plastik yang terbuat dari sumber biomassa terbarukan, seperti minyak nabati, pati jagung, pati kacang polong dan mikrobiota, jika dibandingkan dengan plastik konvensional yang terbuat dari bahan baku petroleum. Bioplastik pada umumnya bersifat dapat terdegradasi secara alami. Plastik biodegradable telah berkembang lebih dari 10 tahun lalu, dan perkembangan kearah plastik komersial sangat lambat. Hal ini disebabkan umumnya karena harga mahal dan sifat agak lain dari plastik konvensional. Namun dengan isu menipisnya cadangan minyak bumi maka bioplastik akan segera menjadi kompetitif dibanding plastik lainnya. Kelebihan lain dari plastik biodegradable adalah diproduksi dari sumber terbarukan bukan dari minyak dan mempunyai sifat dapat terdegradasi secara alami.
Plastik biodegradable adalah plastik yang dapat digunakan layaknya seperti plastik konvensional, namun akan hancur terurai oleh aktivitas mikroorganisme menjadi hasil akhir air dan gas karbondioksida setelah habis terpakai dan dibuang ke lingkungan. Karena sifatnya yang dapat kembali ke alam, plastik biodegradable merupakan bahan plastik yang ramah terhadap lingkungan (Pranamuda, 2001). Plastik biodegradable adalah polimer yang dapat berubah menjadi biomassa, H2O, CO2 dan atau CH4 melalui tahapan depolimerisasi dan mineralisasi. Depolimerisasi terjadi karena kerja enzim ekstraseluler (terdiri atas endo dan ekso enzim). Endo enzim memutus ikatan internal pada rantai utama polimer secara acak, dan ekso enzim memutus unit monomer pada rantai utama secara berurutan. Bagian-bagian oligomer yang terbentuk dipindahkan ke dalam sel dan menjadi mineralisasi. Proses mineralisasi membentuk CO2, CH4, N2, air, garam-garam, mineral dan biomassa. Definisi polimer biodegradable dan hasil akhir yang terbentuk dapat beragam bergantung pada polimer, organisme, dan lingkungan (Kaplan et al, 1993 dalam Hartoto et al, 2005).
Gambar 1. Siklus produksi dan degradasi biodegradable polymer (IBAW Publication, 2005)
Averous (2008), mengelompokkan polimer biodegradable ke dalam dua kelompok dan empat keluarga berbeda. Kelompok utama adalah: (1) agro-polymer yang terdiri dari polisakarida, protein dan sebagainya; dan (2) biopoliester (biodegradable polyesters) seperti poli asam laktat (PLA), polyhydroxyalkanoate (PHA), aromatik and alifatik kopoliester. Biopolymer yang tergolong agro-polymer adalah produk-produk biomassa yang diperoleh dari bahan-bahan pertanian. seperti polisakarida, protein dan lemak. Biopoliester dibagi lagi berdasarkan sumbernya. Kelompok Polyhydroxy-alkanoate (PHA) didapatkan dari aktivitas mikroorganisme yang didapatkan dengan cara ekstraksi. Contoh PHA diantaranya Poly(hydroxybutyrate) (PHB) dan Poly(hydroxybutyrate co-hydroxyvalerate) (PHBV). Kelompok lain adalah biopoliester yang diperoleh dari aplikasi bioteknologi, yaitu dengan sintesa secara konvensional monomer-monomer yang diperoleh secara biologi, yang disebut kelompok polilaktida. Contoh polilaktida adalah poli asam laktat. Kelompok terkahir diperoleh dari produk-produk petrokimia yang disintesa secara konvensioonal dari monomer-monomer sintetis. Kelompok ini terdiri dari polycaprolactones (PCL), polyesteramides, aliphatic co-polyesters dan aromatic co-polyesters.
Gambar 2. Klasifikasi polimer biodegradable (Averous, 2008)
Proses Produksi Poli Asam Laktat (PLA)
Salah satu jenis biodegradable polyester adalah Poli asam laktat (polylactic acid). Poli asam laktat (PLA) ditemukan pada tahun 1932 oleh Carothers (DuPont) yang memproduksi PLA dengan berat molekul rendah dengan memanaskan asam laktat pada kondisi vakum. Pada tahap selanjutnya, DuPont dan Ethicon memfokuskan pembuatan aplikasi medical grade satures, implan dan kemasan obat. Baru-baru ini, beberapa perusahaan seperti Shimadzu dan Mitsui Tuatsu di Jepang telah memproduksi sejumlah PLA untuk aplikasi plastik. Poli asam laktat atau Poli laktida (PLA) dengan rumus kimia (CH3CHOHCOOH)n adalah sejenis polimer atau plastik yang bersifat biodegradable, thermoplastic dan merupakan poliester alifatik yang terbuat dari bahan-bahan terbarukan seperti pati jagung atau tanaman tebu. Walaupun PLA sudah dikenal sejak abad yang lalu, namun baru diproduksi secara komersial dalam beberapa tahun terakhir dengan keunggulan kemampuan untuk terdegradasi secara biologi (http://en.wikipedia.org/wiki/ Polylactic_acid).
Gambar 3. Rumus struktur poli asam laktat
Menurut Averous (2008), sintesa PLA adalah sebuah proses yang terdiri dari beberapa langkah, dimulai dari produksi asam laktat sampai pada tahap polimerisasi. Poli asam laktat dapat diprodukksi melalui tiga metode, yaitu: (1) Polikondensasi langsung (direct condensation-polymerization) asam laktat yang menghasilkan PLA dengan berat molekul rendah dan rapuh sehingga sebagian besarnya tidak dapat digunakan kecuali jika ditambahkan chain coupling agent untuk meningkatkan panjang rantai polimer; (2) Kondensasi dehidrasi azeotropik (Azeotropic dehydration condensation) asam laktat dengan menggunakan pelarut azeotropik, yang dapat menghasilkan PLA dengan berat molekul mencapai 15.400 dan rendemen sebesar 89% dan (3) polimerisasi pembukaan cincin (ring opening polymerization, ROP), yang dilakukan melalui tiga tahapan yaitu polikondensasi asam laktat, depolimerisasi sehingga membentuk dimer siklik (lactide) dan dilanjutkan dengan polimerisasi pembukaan cincin, sehingga diperoleh PLA dengan berat molekul tinggi. Polimerisasi pembukaan cincin menghasilkan PLA dengan berat molekul 2×104 hingga 6.8×105. Metoda ROP ini telah dipatenkan oleh Cargill (Amerika Serikat) pada tahun 1992.
Gambar 4. Metoda sintesa PLA untuk mendapatkan berat molekul tinggi (Hartmann, 1998 dalam Averous, 2008)
Produksi Asam Laktat
Langkah pertama dalam sintesa PLA adalah produksi asam laktat. Asam laktat (IUPAC: 2-hydroxypropanoic acid) yang biasa disebut sebagai asam susu adalah salah bahan kimia yang berperan penting dalam industri biokimia. Asam laktat pertama kali berhasil diisolasi oleh ahli kimia Swedia, Carl Wilhelm Scheele pada tahun 1780. Asam laktat mempunyai rumus kimia C3H6O3, termasuk keluarga asam hidroksi propionat dengan rumus molekul CH3CHOHCOOH. Asam laktat dalam larutan akan kehilangan satu proton dari gugus asam dan menghasilkan ion laktat CH3CH(OH)COO-. Asam laktat larut dalam air dan etanol serta bersifat higroskopik (http://en.wikipedia.org/wiki/Lactic_acid).
Gambar 5. Struktur molekul asam laktat
Asam laktat adalah cairan pekat tak berwarna, tak berbau, larut di dalam air dalam berbagai perbandingan, alkohol dan eter tetapi tidak larut dalam kloroform. Senyawa ini termasuk asam lemah dengan daya penguapan yang rendah. Asam ini memiliki sebuah atom asimetri. Di alam terdapat dalam bentuk D-, L- dan DL-. Produk-produk komersial biasanya dalam bentuk DL- (Tjokroadikoesoemo, 1986 dalam Aulana, 2005).
a
b
Gambar 6.    (a) Asam laktat Levorotatory (D (-) Lactic Acid), (b) Asam laktat Dekstrorotary (L (+) Lactic Acid)
Asam laktat dapat dihasilkan melalui proses fermentasi atau secara sintesis kimiawi. Reaksi dasar proses kimiawi adalah mengubah laktonitril (asetaldehid sianohidrin) menjadi asam laktat. Beberapa metode kimia yang memungkinkan sintesis asam laktat adalah degradasi gula dengan alkali seperti kapur atau NaOH, interaksi asetaldehid dan karbonmonoksida pada suhu dan tekanan yang dinaikkan, dan hidrolisa dari asam α-kloropropionat (Mark et al, 1967 dalam Aulana, 2005).
Fermentasi merupakan metoda yang paling banyak digunakan oleh industri untuk menghasilkan asam laktat. Menurut Hofvendahl dan Hahn–Hägerdal (2000), dari 80.000 ton dari asam laktat yang dihasilkan di seluruh dunia setiap tahun sekitar 90% dibuat dengan cara fermentasi bakteri asam laktat dan sisanya dihasilkan melalui sintesis kimia yaitu hidrolisis laktonitril. Averous (2008) juga menjelaskan hal senada dengan perkiraan produksi asam laktat dunia 200.000 ton pertahun. Salah satu keunggulan metode fermentasi adalah asam laktat yang dihasilkan bisa diatur hanya terdiri dari satu enantiomer berdasarkan bakteri yang digunakan (Hofvendahl dan Hahn–Hägerdal, 2000).
Proses fermentasi dapat digolongkan berdasarkan jenis bakteri yang digunakan; (1) metoda heterofermentatif, menghasilkan kurang dari 1.8 mol asam laktat per mol heksosa dengan hasil fermentasi lainnya dengan jumlah yang signifikan diantaranya asam asetat, etanol, gliserol, manitol dan karbondioksida; (2) metoda homofermantatif yang hanya menghasilkan asam laktat, atau menghasilkan produk samping dengan jumlah yang sangat kecil. Metoda homofermentatif ini banyak digunakan di industri, dengan konversi yield glukosa menjadi asam laktat lebih dari 90% (Hofvendahl dan Hahn–Hägerdal, 2000).
Gambar 7. Potensi produk dan teknologi asam laktat (R. Datta et al, 1995).
Polimerisasi Asam Laktat
Langkah selanjutnya dari sintesa PLA adalah polimerisasi asam laktat. Polimerisasi asam laktat sendiri terdiri dari tiga mtode, yaitu:
  • Polimerisasi PLA dengan metode Polikondensasi Langsung
    Polimerisasi kondensasi adalah metoda paling murah untuk menghasilkan PLA, namun sangat sulit untuk mendapatkan PLA dengan berat molekul yang tinggi (Averous, 2008). Polikondensasi langsung (konvensional) ini dimungkinkan, menurut Hasibuan (2006), karena adanya gugus hidroksil dan karboksil pada asam laktat. Namun, reaksi polikondensasi konvensional asam laktat ini tidak cukup dapat meningkatkan bobot molekulnya dan pada metode ini dibutuhkan waktu yang sangat lama karena sulitnya untuk mengeluarkan air dari produk yang memadat, sehingga produk air yang dihasilkan justru akan menghidrolisis polimer yang terbentuk. Reaksi polikondensasi konvensional hanya mampu menghasilkan PLA denggan bobot kurang dari 1,6×104 (Hyon et al, 1998 dalam Hasibuan, 2006) yang cirinya seperti kaca yang getas (britle). Pada perkembangannya, polikondensasi langsung ini selalu melibatkan pengurangan kadar air hasil kondensasi dengan menggunakan pelarut pada tekanan vakum dan temperatur tinggi.
    Berat molekul dapat ditingkatkan dengan penggunaan coupling atau esterification-promoting agents yang berfungsi memperpanjang ikatan kimia, namun biaya produksi meningkat karena proses yang cukup rumit dan panjang (multistep process). Chain-extending agents berfungsi untuk mereaksikan gugus hidroksil (OH) atau karboksil yang berada di ujung molekul PLA sehingga membentuk polimer telechelic. Penggunaan agen ini memberikan beberapa keuntungan karena reaksi hanya melibatkan sedikit agen dan bisa diselesaikan tanpa perlu dipisahkan dengan proses yang lain. Kemampuan untuk mengembangkan desain kopolimer dengan gugus fungsi yang beraneka macam juga bisa diperluas. Kelemahannya adalah polimer mungkin masih mengandung chain-extending agents yang tidak bereaksi, oligomer dan sisa-sisa pengotor logam yang berasal dari katalis. Beberapa chain-extending agents juga dapat mengurangi sifat biodegradabilitas polimer. Beberapa agen yang digunakan diantaranya anhydride, epoxide and isocyanate. Produk-produk seperti ini digunakan untuk pengembangan PLA yang cocok untuk bahan dasar pencampuran (PLA-based blends). Kelemahan penggunaan isosianat sebagai chain extenders adalah sifatnya yang beracun (eco-toxicity).
    Keuntunggan penggunaan esterification-promoting adjuvents adalah produk akhir dengan kemurnian yang tinggi dan bebas dari sisa-sisa katalis dan/atau oligomer. Kekurangannya adalah biaya yang tinggi sehubungan dengan banyaknya tahap yang dilibatkan dan pemurnian tambahan dari residu dan produk samping, karena produk samping yang dihasilkan harus dinetralkan atau bahkan dihilangkan (Averous, 2008).
  • Polimerisasi PLA dengan metode Polikondensasi Azeotropik
    Reaksi polikondensasi azeotropik merupakan modifikasi dari reaksi polikondensasi konvensional yang dapat menghasilkan bobot molekul yang lebih tinggi (Ajioka et al, 1998 dalam Hasibuan, 2006), dan tidak menggunakan chain-extenders atau adjuvents dan beberapa kelemahannya (Averous, 2008). Mitsui Chemical (Jepang) telah mengkomersialkan proses ini dimana asam laktat dan katalis didehidrasi secara azeotropik dalam sebuah refluxing, pemanasan dengan temperatur tinggi, pelarut aprotic pada tekanan rendah untuk menghasilkan PLA dengan berat molekul mencapai ≥ 300.000.
    Reaksi polikondensasi azeotropik menggunakan pelarut seperti difenil eter, xilena, bifenil dan klorobenzena untuk memudahkan pemisahan air dari produk pada atmosfer normal atau tekanan rendah. Reaksi ini juga dapat menggunakan berbagai jenis katalis seperti asam protonat, logam, oksida logam, logam halida dan garam asam organik dari logam. Logam memiliki orbital p dan d yang bebas dan dapat menginisiasi terbentuknya kompleks koordinasi. Salah satu logam yang yang dapat digunakan sebagai katalis reaksi polikondensasi azeotropik adalah logam timah. Logam timah memiliki toksisitas yang rendah, merupakan katalis yang direkomendasikan FDA dan dapat dipisahkan dari polimer setelah polimerisasi. Fungsinya adalah untuk mempercepat reaksi pembentukan PLA. Polikondensasi azeotropik dalam larutan dapat mencegah terjadinya reaksi pesaing, yaitu pembentukan laktida dan reaksi degradasi PLA yang terbentuk (Hasibuan, 2006).
    Hasibuan (2006) dalam penelitiannya berhasil mengembangkan metode polikondensasi konvensional menjadi polikondensasi azeotropik pada poli asam laktat, menghasilkan PLA dengan bobot molekul sampai 22.000. Optimasi reaksi polimerisasi asam laktat dengan metode polikondensasi azeotropik dicapai pada lama polimerisasi 30 jam dan konsentrasi katalis logam timah 0.5%. Namun, untuk menghasilkan PLA dengan bobot molekul yang lebih besar perlu dikembangkan proses polimerisasi dengan pelarut yang memiliki titik didih yang lebih tinggi dari xilena, seperti pelarut difenil eter dan o-klorotoluen.
  • Polimerisasi PLA dengan metode Ring Opening Polymerization
    Ring opening polymerization (ROP, reaksi polimerisasi pembukaan cincin) merupakan metoda yang lebih baik untuk menghasilkan PLA dengan bobot molekul yang tinggi, dan sekarang telah diadaptasi untuk proses komersial seiring dengan kemajuan teknologi fermentasi dekstrosa jagung. Metoda ini pertama kali diperkenalkan oleh Carothers pada tahun 1932, namun belum bisa menghasilkan PLA dengan bobot molekul yang tinggi sampai teknik pemurnian asam laktat membaik, seperti yang dikembangkan oleh DuPont pada tahun 1954. Mekanisme-mekanisme ROP bisa berupa reaksi ionik (anionik atau kationik) atau coordination–insertion, bergantung kepada sistem katalisnya (Averous, 2008).
    Secara umum, proses ROP pada produksi PLA dimulai dari polimerisasi kondensasi asam laktat untuk menghasilkan PLA dengan bobot molekul rendah (prepolimer), dilanjutkan dengan depolimerisasi untuk menghasilkan dimer laktida yang berbentuk molekul siklik. Laktida kemudian dengan bantuan katalis dipolimerisasi ROP untuk menghasilkan PLA dengan bobot molekul yang tinggi.
Aplikasi PLA Sebagai Pengganti Plastik Konvensional
Poli asam laktat mempunyai potensi yang sangat besar dikembangkan sebagai pengganti plastik konvensional. Poli asam laktat bersifat termoplastik, memiliki kekuatan tarik dan modulus polimer yang tinggi, bobot molekul dapat mencapai 100.000 hingga 500.000, dan titik leleh antara 175-200ºC (Oota, 1997 dalam Hartoto et al, 2005 dan physical properties PLA).
Pada umumnya PLA dipergunakan untuk menggantikan bahan yang transparan dengan densitas dan harga tinggi. Bahan plastik yang digantikan dari jenis PET (1.4 g/cc, 1.4 usd/kg), PVC lentur (1.3 g/cc, 1 usd/kg) dan selofan film. Dibanding PP (0.9 g/cc, 0.7 usd/kg) dan HIPS (1.05 g/cc, 1 usd/kg), PLA dapat dikatakan kurang menguntungkan, namun mempunyai kelebihan lain yaitu ramah lingkungan. PP dan HIPS berasal dari minyak bumi dan jika dibakar akan menimbulkan efek pemanasan gobal.
Kelebihan PLA pada jenis BOPLA (bioriented PLA atau bentuk stretch dua arah) dimana twist dan deadfold mirip seperti selofan dan PVC, karena itu BOPLA dipergunakan juga untuk film yang tipis untuk pembungkus permen. BOPLA mempunyai barier yang bagus untuk menahan aroma, bau, molekul solven dan lemak sebanding dengan PET atau nilon 6. Sebagai bahan polar PLA mempunyaii tegangan 38 dynes/cm2 sehingga mudah untuk di-print dengan berbagai tinta tanpa proses ‘flame dan corona‘ seperti halnya BOPP atau film yang lain. PLA merupakan peyekat yang bagus dengan suhu gelas atau Tg 55-65 deg, inisiasi sealing bisa dimulai pada suhu 80 deg sama dengan sealant dari 18% EVA. Gabungan antara kemudahan untuk di-seal dan tingginya barier untuk aroma dan bau maka PLA dapat digunakan sebagai lapisan paling dalam untuk pengemas makanan.
Keurangan PLA adalah densitas lebih tinggi (1.25 g/cc) disbanding PP dan PS dan mempunyai polaritas lebih tinggi sehingga sulit direkatkan dengan PE dan PP yang non polar dalam system film multi lapis. PP mempunyai densitas 0.9 g/cc, denga harga 0.7 usd per kg dan HIPS mempunyai densitas 1.05 g/cc dan harga 1 usd per kg. PLA juga mempunyai ketahanan panas, moisture dan gas barier kurang bagus dibanding dengan PET. Hal lain yang paling penting adalah harganya yang masih tinggi yaitu 2.6 usd per kg. usaha untuk menurunkan harga teruus dilakukan oleh Cargill Dow hingga 2 usd per kg supaya kompetitif. Sifat barier terhadap uap air, oksigen dan CO2 lebih rendah disbanding PET, PP atau PVC. Perbaikan sifat barier dapat dilakukan dengan system laminasi dengan jenis film lain seperti PE, PVOH, Alufoil, Nanopartikel dan lainnya.
Menurut Botelho et al (2004), kelebihan PLA dibandingkan dengan plastik yang terbuat dari minyak bumi adalah:
  1. Biodegradable, artinya PLA dapat diuraikan secara alami di lingkungan oleh mikroorganisme.
  2. Biocompatible, dimana pada kondisi normal, jenis plastik ini dapat diterima oleh sel atau jaringan biologi.
  3. Dihasilkan dari bahan yang dapat diperbaharui (termasuk sisa industri) dan bukan dari minyak bumi.
  4. 100% recyclable, melalui hidrolisis asam laktat dapat diperoleh dan digunakan kembali untuk aplikasi yang berbeda atau bisa digabungkan untuk menghasilkan produk lain.
  5. Tidak menggunakan pelarut organik/bersifat racun dalam memproduksi PLA.
  6. Dapat dibakar sempurna dan menghasilkan gas CO2 dan air.
Saat ini, PLA sudah digunakan untuk beragam aplikasi, diantaranya dibidang medis, kemasan dan tekstil. Dibidang medis, PLA sudah lama digunakan sebagai benang jahit pada saat operasi serta bahan pembungkus kapsul. Selain itu pada dasawarsa terakhir PLA juga dikembangkan dalam upaya perbaikan jaringan tubuh manusia. PLA juga telah dikembangkan untuk pembuatan kantong plastik (retail bags), kontainer, bahkan edible film untuk sayuran dan buah. Dalam bentuk film dan bentuk foam digunakan untuk pengemas daging, produk susu, atau roti. Dapat juga digunakan dalam bentuk botol dan cangkir sekali pakai untuk kemasan air, susu, jus dan minuman lainnya. Piring, mangkok, nampan, tas, film pertanian merupakan penggunaan lain dari jenis plastik ini.Selain itu dibidang tekstil PLA juga telah diaplikasikan untuk pembuatan kaos dan tas. Di Jepang, PLA bahkan sudah dikembangkan sebagai bahan dasar pembuatan compact disc (CD) oleh Sanyo.
Prospek Perkembangan PLA di Indonesia
Upaya pengembangan teknologi kemasan plastik biodegrdable dewasa ini berkembang sangat pesat. Berbagai riset telah dilakukan di negara maju (Jerman, Prancis, Jepang, Korea, Amerika Serikat, Inggris dan Swiss) ditujukan untuk menggali berbagai potensi bahan baku  biopolimer. Di Jerman pengembangan untuk mendapatkan polimer biodegradable pada polyhydroxybutiyrat (PHB), Jepang (chitin dari kulit Crustaceae, zein dari jagung).   Aktivitas penelitian lain yang dilakukan adalah bagaimana mendapatkan kemasan thermoplastic degradable yang mempunyai masa pakai (lifetimes) yang relatif lebih lama dengan harga yang lebih murah.  Pengembangan lain yang sangat penting adalah perbaikan sifat-sifat fisik  dan penggunaan bahan pemlastis.
Kendala utama yang dihadapi dalam pemasaran kemasan ini adalah harganya yang relatif tinggi dibandingkan film kemasan PE.  Biaya produksi yang tinggi berasal dari komponen bahan baku (sumber karbon), proses fermentasi (isolasi dan purifikasi polimer) dan investasi modal.   Upaya untuk menekan harga tersebut adalah menggunakan substrat dari methanol, molasses dan hemicellulose hydrolysate.
Di Indonesia , polimer biodegradable telah berkembang lebih dari 10 tahun lalu, namun penelitian dan pengembangan teknologi kemasan plastik biodegradable masih sangat terbatas. Hal ini terjadi karena selain kemampuan sumber daya manusia dalam  penguasaan ilmu dan teknologi bahan, juga dukungan dana penelitian yang terbatas.  Dipahami bahwa penelitian dalam bidang ilmu dasar memerlukan waktu lama dan dana yang besar.  Sebenarnya prospek pengembangan biopolimer untuk kemasan plastik biodegradable di Indonesia sangat potensial.  Alasan ini didukung oleh  adanya sumber daya alam, khususnya hasil pertanian yang melimpah dan dapat diperoleh sepanjang tahun. Berbagai hasil pertanian yang potensial untuk dikembangkan menjadi biopolimer adalah jagung, sagu, kacang kedele, kentang, tepung tapioka, ubi kayu (nabati) dan chitin dari kulit udang (hewani) dan lain sebagainya. Kekayaan akan sumber bahan dasar seperti tersebut di atas, justru sebaliknya menjadi persoalan potensial yang serius pada negara-negara yang telah maju dan menguasai ilmu dan teknologi kemasan biodegrdable, khususnya di Jerman. Negara tersebut dengan penguasaan IPTEK yang tinggi bidang teknologi kemasan, merasa khawatir kekurangan sumber bahan dasar (raw materials) dan akan menjadi sangat tergantung pada negara yang kaya akan sumber daya alam.
Pada tahun 2005, Liesbetini Hartono, dkk. melakukan penelitian, yaitu Rekayasa proses produksi poli asam laktat (PLA) dari pati sagu sebagai bahan baku plastik biodegradable, dengan menggunakan variasi jenis bakteri dan kondisi operasi proses fermentasi untuk menghasilkan asam laktat, dan dengan proses polimerisasi kondensasi langsung dapat dihasilkan PLA. Pada tahun 2006, Hanny Widjaja, dkk. melakukan penelitian mengenai sintesa PLA dari Limbah Pembuatan Indigenous Starch untuk Pembuatan Plastik Ramah Lingkungan, dimana pada penelitian ini, variasi yang dipakai adalah jenis bakteri untuk fermentasi, dimana nantinya diperoleh bakteri yang terbaik untuk menghasilkan Asam Laktat, yang dengan proses polikondensasi azeotropik dapat dihasilkan PLA. Ery Susiany Retnoningtyas,dkk. melakukan penelitian mengenai Pembuatan plastik biodegradable dari kulit pisang.
Masih dengan menggunakan variasi kondisi operasi fermentasi untuk menghasilkan PLA.
Kebanyakan penelitian yang dilakukan di Indonesia adalah dengan variasi bahan baku, untuk memperoleh bahan alam apa yang paling sesuai untuk membuat PLA, dan juga proses fermentasi, bukan dengan variasi katalis. Penelitian yang pernah dilakukan yaitu sintesis PLA dengan bahan baku yang berasal dari pati sagu, limbah indigenous pati, kulit pisang, pati singkong, pati jagung, kulit udang, talas, dan lain sebagainya.
Jika ditinjau dari segi industri, di Indonesia hingga saat ini sulit sekali ditemukan produk berbahan baku bioplastik selain edible, padahal pemerintah sejak PELITA VI telah memprioritaskan program untuk memprroduksi bahan baku biopolymer melaui perkebunan dan pertanian. Namun demikian program yang dicanangkan lebih dari dua dekade ini masih belum bisa terealisasikan hingga sekarang ini. Untuk itu maka diperlukan keseriusan pemerintah dalam program pemakaian bioplastik demi menjaga kelestarian lingkungan selain untuk menghemat minyak bumi yang semakin tipis persediaanya. Masyarakat Indonesia juga harus menyadari akan pentingnya pemakaian bioplastik sebagai suatu alternatif yang dapat memecahkan sebagian persoalan lingkungan.
Kesimpulan:
  1. Poli asam laktat adalah salah satu jenis plastik biodegradable yang terbuat dari bahan biomassa terbarukan, berupa pati-patian yang dapat diperoleh dari jagung, kentang, kacang polong, bahkan limbah tapioka.
  2. Proses produksi asam laktat dimulai dari produksi asam laktat dengan cara fermentasi pati-patian, dilanjutkan dengan polimerisasi.
  3. Terdapat tiga jenis polimerisasi asam laktat, yaitu polikondensasi langsung, polikondensasi azeotropik dan polimerisasi pembukaan cincin (ROP).
  4. PLA memiliki sifat properties yang cukup baik jika digunakan sebagai aplikasi pengganti plastik konvensional.
  5. Aplikasi PLA yang telah dikembangkan saat ini diantaranya di bidang medis, pengemasan makanan, edible
    film, tekstil bahkan casing barang elektronik ringan.
  6. Perkembangan plastik biodegradable di Indonesia, khususnya PLA masih dalam skala industry tekendala masalah teknologi dan investasi, sementara tersedia bahan baku yang melimpah.
Saran:
  1. Perlu dilanjutkan penelitian PLA terutama untuk mencari bahan baku ataupun metode sintesa yang lebih ekonomis dan peningkatan sifat fisik, mekanik maupun kimia PLA agar dapat diterima pasar dan masyarakat sebagai material pengganti plastik konvensional.
  2. Perlu segera dibuat regulasi penggunaan plastik biodegradable seperti yang telah diberlakukan di beberapa Negara Eropa dan Asia Timur dengan harapan dapat mengurangi penggunaan plastik konvensional yang tidak bisa terdegradasi sendiri.
Daftar Pustaka
Anonymous, 2005. Highlights in Bioplastics, Berlin: IBAW Publication.
Aulana, Lena Nur., 2005. Pemanfaatan Hidrolisat Pati Sagu Untuk Produksi Asam Laktat oleh Lactobacillus casei FNCC 266, Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Auras, R. 2002. Polylactic Acid as a New Biodegradable Commodity Polymer. http://google.com
Avérous, L., 2008. Polylactic Acid: Synthesis, Properties and Applications, dalam Monomers, Polymers and Composites from Renewable Resources (Ed Mohamed Naceur Belgacem dan Alessandro Gandini), 1st Editon, Chapter 21. Amsterdam: Elsevier Ltd.
Hofvendahl, Karin . dan Bärbel Hahn–Hägerdal, 2000. Factors affecting the fermentative lactic acid production from renewable resources, dalam Enzyme and Microbial Technology, no 26 tahun 2000, Halaman 87-107, Lund: Department of Applied Microbiology, Lund Institute of Technology/Lund University.
R. Datta et al., 1995. Technological and economic potential of poly( lactic acid) and lactic acid derivatives, dalam FEMS Microbiology Reviews, no 16 tahun 1995, Halaman 221-231, Argonne: Waste Management and Bioengineering Section, Energy Systems Division, Argonne National Laboratory.
Botelho, Thiago., Nadia Teixira and Felipe Aguiar, 2004. Polylactic Acid Production from Sugar Molasses, International Patent WO 2004/057008 A1.
Hartoto, Liesbetini., Ani Suryani dan Erliza Hambali, 2005. Rekayasa Proses Produksi Asam Polilaktat (PLA) dari Pati Sagu Sebagai Bahan Baku Utama Plastik Biodegradable, Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Mitchell, Brian S., 2004. An Introduction to Materials Engineering and Science: For Chemical and Materials Engineers, New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.
Nasiri, Syah Johan A., 2008. Mengenal Polylactic acid, dalam Majalah Sentra POLIMER, Tahun VII nomor 27, Jakarta.
Nasiri, Syah Johan A., 2008. Plastik Ramah Lingkungan, dalam Majalah Sentra POLIMER, Tahun VII nomor 27, Jakarta.
Ohara, H., et al, 1998. Method for producing Polylactid Acid. US Patent 5,770,682.
Pranamuda, H., 2001. Pengembangan Bahan Baku Plastik Biodegradabel
Porter, Keith A., 2006. Ring Opening Polymerization of Lactide for The synthesis of Poly (Lactic Acid), http://www.chemistry.illinois.edu/.
Rohman, Saeful, 2008. Bioplastik Bukan Material Baru, Mengapa di Indonesia Belum Diporduksi Secara Massal?, dalam Majalah Sentra POLIMER, Tahun VII nomor 27, Jakarta.

No comments:

Post a Comment